Senin, 16 Desember 2013

Secangkir Kopi Lagi Untukmu

Mimpiku denganmu memang tak pernah banyak. Hanya berkisar pada kopi, dan bintang di langit. Dua tahun mengenalmu dan mimpi itu masih saja sama.

Sekarang kita mulai bicara tentang mimpi dan cinta dalam hidup masing-masing. Kamu dan aku dengan dia yang masing-masing dari kita tidak pernah kenal. Lalu kita bicara tentang mimpi kita akan masa depan kita bersama orang itu. Kemudian kita diam. Mungkin salah satu dari kita berpikir tentang andai-andai. Seandainya dalam tahun kedua ini hubungan kita tak dihentikan sampai batas sahabat, apa mungkin kita akan bicara tentang masa depan kita bersama-sama? Atau mungkin seandainya jarak tidak sebegitu jauhnya, kita tidak berhenti sebagai sahabat? Tunggu dulu. Siapa yang berpikir andai-andai ini? Mungkin kamu. Mungkin sekali aku. Pikiran bodoh. Dan aku menghentikannya. Segera.

Aku tak pernah bisa menjawab dengan tepat siapa kamu dalam hidupku. Sahabat dan bukan sahabat. Sempat menjadi lawan dan bukan lawan sekaligus. Waktu mengajarkan kita bahwa manusia berubah. Aku dan kamu yang juga manusia ikut terkena imbasnya. Kita berubah. Entah menjadi lebih apa selain lebih tua.

Kadang, tiba-tiba aku merindukanmu. Merasa sedih yang sangat karena kamu tak tergapai. Tapi lebih sering aku mencukupkan diri pada apa yang ada. Sms, telepon, dan sedikit uraian lewat surat elektronik. Dan sejak setahun yang lalu, tetap begitu.

Pertemuan pertama yang mengingatkanku padamu cuma tentang secangkir kopi di tengah dinginnya udara Makassar. Lalu tertawa dan bicara tentang hal-hal yang masih aku ingat dengan jelas hingga hari dimana kamu menjadi bagian hari-hariku. Obrolan singkat dan diskusi tentang pelajaran demi pelajaran jadi bahasan yang paling sering kita ceritakan. Kadang kamu juga senang berbicang denganku tentang sepakbola. Benar, kamu begitu menyukai sepakbola.

Dulu ceritamu tentang pelajaran, bola, film. Sekarang ceritamu bertambah. Langit dan bintang. Tentang bintang di langit yang katanya bisa kamu lihat jelas dari jendela kamar kost-mu yang katanya harus berbagi itu. Tentang langit di ujung negeri yang masih bersih dan membuatmu bisa menikmati bintang. Dan aku harus puas dengan ceritamu. Puas, sambil bermimpi dengan sederhana tentang melihat langit berbintang bersamamu. Berbaring menatap langit, memandang bintang, dan menyadari kecilnya manusia dalam semesta. Melewatkan malam dengan sunyi dan denganmu dalam diam. Mencoba memahami kuasa Dia yang kita sebut Tuhan.

Kemarin ceritamu berhenti di situ. Mungkin memang kamu hentikan di situ. Atau kita yang menghentikannya di situ. Berhenti di situ, kemudian kita mengganti waktu itu untuk bicara soal hidup, dan kehidupan. Kemarin, ceritamu bertambah satu lagi. Tentang masa depan. Tentang mimpi yang tersisa. Bukan mimpi untuk jadi apa atau mimpi untuk bikin apa. Tapi mimpi tentang jadi siapa untuk siapa dan hidup bagaimana. Satu yang kucinta dari ceritamu adalah kamu tidak pernah melepaskan mimpi untuk hidup puas. Untuk hidup yang punya makna.

Sekarang cerita kita berputar tidak jelas. Kopi, bintang, dia, dan mereka. Kemudian mulai bertanya mau apa, mau bagaimana, dan mau sampai kapan. Tapi yang jelas dalam cerita kita tidak ada kita. Yang ada adalah aku dan kamu. Aku dan kamu dengan kehidupan masing-masing. Aku dan kamu yang ada di tempat yang saling berjauhan. Aku dan kamu yang punya dia dalam keseharian. Aku dan kamu yang berubah dari saat bertemu. Berubah karena waktu. Berubah karena kondisi. Berubah karena pengaruh sana sini. Berubah, karena kita manusia.

Aku berhenti bertanya kenapa Tuhan mempertemukanku denganmu. Aku berhenti karena sudah tahu jawabannya. Jawabannya adalah karena aku harus belajar. Dan darimu aku belajar banyak walaupun tidak banyak belajar. Belajar tentang manusia. Belajar tentang repotnya punya dan tidak punya perasaan. Belajar tentang mencintai cinta yang tidak mencintai kembali. Belajar tentang peran masing-masing. Belajar tentang alasan.Tentang alasan kenapa manusia dilahirkan dan dibiarkan hidup oleh Tuhan.

Baiklah, aku sudah selesai. Seperti yang pernah kamu tuliskan di selembar kertas setahun lalu : Tidak ada yang abadi kecuali perubahan.Dan kita sama-sama tahu, perubahan selalu punya konsekuensi. Selamat hidup dengan perubahan.

Dan lagi-lagi, secangkir kopi. Frase ini total mengingatkanku padamu. Mengingatkanku pada kegilaan yang kucintai. Mengingatkanku dengan jelas tentang seorang kamu. Sampai saat ini. Ya, sampai saat ini, ketika kamu sudah merangkul dia yang di sana untuk masa depan. Sampai saat ini, ketika aku telah memohon pada Tuhan untuk memberikan dia yang di sini untuk hidupku.

Terimakasih untuk kopinya.

Makassar, 15 Desember 2013


-NSNS-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar