Selasa, 22 April 2014

Mengikat Tali Sepatu di Lintasan Lari

Pernahkah kita berpikir bahwa hidup itu seperti lintasan lari, dengan garis start berupa kelahiran sementara garis finish berupa surga dan kematian ada di antara dua garis itu.  Pengguna lintasan itu tentu para pelari  yang bisa melintasinya dengan cepat atau lambat  bahkan keluar lintasan. Membayangkan di sepanjang lintasan akan tampak banyak pelari yang berjongkok mengikat tali sepatunya. Ada pula yang duduk selonjor, mengatur napas. Ada pula yang berbaring kelelahan.

Hidup itu lintasan lari  yang dapat diselesaikan dengan baik jika mentalitasnya benar, sabar, pantang menyerah, dan semangat. Seperti para pelari marathon  yang walau jauh jaraknya,  mentalnya terpaku pada garis finish. Yang walau rasanya ingin menyerah saja,  mereka tetap melanjutkan berlari.

Bagi yang sedang mengikat tali sepatunya,  mungkin perlu juga untuk melihat ke depan, ke belakang, ke samping. Sambil mencoba bertanya pada diri sendiri benarkah jalur lintasan yang diambil?. Benarkah cara berlari, kecepatan, strateginya?.  Mungkin saja ada yang perlu diperbaiki.  Sambil mencoba mengamati wajah-wajah pelari lain, adakah pelari yang butuh senyum atau teriakan semangat. Atau mungkin sedari tadi sudah ada tangan terulur, mengajak berlari bersamanya,  meringankan perjalanan ke garis finish. Mungkin kehadirannya jadi tidak tampak karena kepala ini tidak mendongak.
Karena mungkin saat menyimpulkan tali adalah satu-satunya kesempatan  melihat kembali ke lintasan lari ini, untuk kemudian lanjut lari lagi, dan menjadi pemenangnya.

Sent from BlackBerry® on 3

Senin, 14 April 2014

SOPIR ANGKOT BAIK HATI

Akhir-akhir ini gw harus bolak balik ke kost teman sekelas untuk mengerjakan laporan yang nampaknya tidak menunjukkan ciri-ciri selesai. Akibatnya gw selalu pulang malam. Beragam cerita yg terjadi dalam perjalanan pergi pulang dengan menggunakan angkot.
Tadi gw pulang dengan angkot khusus trayek kampus. Kernet dan pengemudinya adalah dua pemuda tanggung slenge'an, gw taksir umur mereka tidak lebih tua dari gw.
Beragam penumpang yang naik menggunakan jasa angkot ini. Anehnya, beberapa penumpang malah turun tidak membayar tarif angkot seperti biasa, 4000rupiah. Mereka berdua pun tidak perduli. Sampai akhirnya ada seorang ibu yang turun lalu dengan sungkan beliau berujar "tidak ada uangku bayar nak", si sopir angkot dan si kernet hampir bersamaan berkata "iye' tidak apa-apaji ibu" . Gw berpikir sambil memandangi kelakuan mereka berdua dari balik kursi angkot, mereka berdua berbeda dengan pengemudi angkot yang gw temui 2hari lalu, ketika seorang bapak turun dari angkot kemudian berkata tidak punya uang, si pengemudi mengumpat, mengeluarkan kata-kata kasar lalu mengemudikan angkot dengan ugal-ugalan sebagai bentuk kekesalan.
Singkat cerita, gw turun dari angkot yang dikemudikan pemuda tanggung. Sambil mengangsurkan uang, gw berujar "Pak, sama yang ibu tidak membayar tadi", dengan kalem kernetnya mengembalikan uang gw tanpa mengurangi untuk membayar tarif si ibu tersebut. Melihat kebingungan gw, si kernet melihat ke temannya yang mengemudi, lalu kembali melihat ke gw sambil berujar "kapan-kapanpi sedekahki", dan akhirnya mereka berlalu menyisakan gw dengan rasa salut terhadap mereka yang meskipun slenge'an tapi sopan dan baik hati.


Makassar, April 14 2014

-NSNS-
Sent from BlackBerry® on 3

Selasa, 08 April 2014

Filosofi Sepatu dan Jodoh

Akhir-akhir ini playlist handphone, pc, notebook gw didominasi lagu-lagu dari Bang Tulus. Mulai dari aktivitas gw lagi nunggu sampai saat gw jogging. Semalam saat gw sedang mengerjakan laporan residensi, ibu gw tiba-tiba nyeletuk begitu dengar lagu Tulus yang judulnya sepatu,
Ibu: "kak, sol sepatunya jebol lagi?"
Gw: "iye, ibu"
Ibu : "mau sepatu mahal atau murah sama saja kalau di kakimu, cepat rusak"
Setelahnya gw cuma bisa ketawa. Tiba-tiba ibu nyeletuk lagi "sekarang siapa yang lagi dekat, nak?". Gw tau maksud pertanyaan ibu ini merujuk ke laki-laki yang mungkin bisa gw jadiin menantu u/ ibu. Karena gw diam, ibu akhirnya kembali bersuara

"ya, cari pasangan hidup yang nantinya bisa seperti sepatu. Kenapa? Karena sepatu itu
1. Bentuk tak persis namun serasi.
2. Saat berjalan tak pernah kompak tapi tujuannya sama.
3. Tak pernah ganti posisi, namun saling melengkapi.
4. Selalu sederajat tak ada yang lebih rendah atau tinggi.
5. Bila yang satu hilang yang lain tak memiliki arti".

Gw cuma bisa menganga dengar filosofi sepatu ibu gw yang entah dapat ilham darimana atau habis nonton film apa, atau hbis dipengaruhi siapa terus bisa bicara seperti itu. Pembicaraan yang jelas bikin gw galau sesaat.

Gw jd flashback sama beberapa laki-laki yang sempat ada di hati gw dulu dan saat ini. Gw jd inget mantan-mantan gw. Beraneka ragam cerita gw sama mereka.

Dan gw mulai mikir-mikir ke seseorang (yg sedang, ups, ah gw gatau apa ini namanya, pokoknya gw sedang suka dia), tentang filosofi sepatu ibu gw. Kadang gw suka nothing to lose sama dia (maaf, kali ini gw jd pecundang).

Ya, begitulah ceritaku tentang filosofi sepatu dan jodoh dari ibu gw. Btw, buat teman-teman yang sering liat gw gonta ganti sepatu, itu bukan karen gw bnyak duit atau apa, tapi karena gw ga tau kenapa kaki gw suka ngerusak sepatu dalam jangka waktu yg singkat. Kaki gw anatominya berbeda dari kaki cewek-cewek pada umumnya yang ukuran sepatunya kebanyakan 37 atau 38. Gw harus 40. Itu juga ga semua 40 muat, tergantung model dan mereknya hehehe XD

Makassar, 6 April 2014

-NSNS-
Sent from BlackBerry® on 3

Teh dan Kopi

Setiap pagi Teh dan Kopi selalu bertemu. Meskipun udara kala itu masih sejuk, Teh dan Kopi tak perduli. Udara dingin seolah bukan hal yang harus di khawatirkan dan putaran waktu bukanlah ancaman. Teh dan Kopi tetap bercerita tentang pagi, petang dan malamnya.

Teh merasa lebih anggun dari Kopi, mungkin karena Teh berasal dari pucuk daun pilihan, tidak terlalu muda juga tidak terlalu tua. Seperti gadis yang siap untuk di persunting saja layaknya.

Dan Kopi tak pernah mau mengalah, hal itu karena Kopi merasa bahwa dia adalah proses akhir dari satu perjalanan menuju kedewasaan. Ditambah dengan hitamnya membuat Kopi menjadi lebih gagah dan lebih berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Tak perduli bahwa itu benar atau salah. Kopi tetap dengan pendiriannya. Apakah Kopi angkuh?. Tidak, Kopi tidak angkuh. Kopi hanya merasa sedikit lebih pandai, lebih berani dan lebih berpengalaman dari apapun.

Lalu bagaimana dengan Teh? hmm Teh yang santai, Teh yang tidak terburu-buru dan selalu berfikir sebelum mengambil keputusan. Teh selalu mendengar ocehan Kopi, Teh tidak mau membantah, berlembut kata dan bermanis bahasa. Padahal Teh memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh Kopi dan Teh menunggu saat yang tepat untuk bisa membuat Kopi mengerti bahwa tidak selamanya kekerasan harus dibalas dengan hal yang sama. Ah ternyata Teh lebih cerdik dari Kopi.

Akhirnya apakah Teh dan Kopi akan bersatu? Teh rasa tidak, sebab terlalu banyak perbedaan dan hanya sedikit persamaan. Persamaan itu hanyalah Kafein. Yah, hanya itu persamaan Teh dan Kopi. Dan karena Kafein itulah yang menyebabkan Teh dan Kopi selalu bertemu dalam tiap pagi ataupun malam dalam rutinitas keluargaku.

Sent from BlackBerry® on 3