Kamis, 04 April 2013

Perjuangan Untuk Menjadi Yang Terdidik

Sungguh belajar itu memang indah jika dilakukan dengan ikhlas dan berharap ilmu dan hikmah dari Allah.

Teman, pernahkah kita berpikir sejenak, sejauh mana kita menghargai pendidikan yang dengan mudah kita dapatkan?. Pernahkah kita menengok sekali saja  ke sekitar kita dan menemukan masih banyak saudara kita yang memiliki keinginan tinggi untuk menjadi yang terdidik tapi mereka berada dalam keterbatasan?.

Beruntunglah kita jika kita masih sempat memikirkan mereka. Itu adalah salah satu bukti bahwa ditengah carut marut kondisi ibu pertiwi, bangsa ini belum kehilangan HATI.

Begitu banyak pemberitaan yang beredar akhir-akhir ini mengenai kerasnya perjuangan saudara kita untuk mengenyam nikmatnya berpendidikan yang seharusnya menjadi hak mereka di bumi pertiwi ini. Tengoklah satu gambar yang dipublikasikan oleh salah satu harian nasional 






Saudara kita ini rela berjalan jauh melewati jembatan yang hanya terbuat dari seutas tali, rela melintasi sungai yang mungkin saja merenggut nyawa mereka demi mendapatkan pendidikan, berada di sekolah dan asa untuk mencapai cita-cita mereka suatu saat nanti. Saya terharu sekaligus malu menyaksikan pemberitaan ini. Semangat saya untuk mengecap pendidikan yang maksimal terkadang tidak lebih dari mereka saudara sebangsa yang jauh disana .

Ini hanyalah salah satu dari potret perjuangan saudara kita, masih banyak kisah-kisah perjuangan lain yang lebih mengharukan yang sepantasnya bisa jadi tamparan kasar untuk kita yang angkuh menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi orang yang terdidik . Tidak sadarkah kita seberapa beruntungnya kita sekarang?
Renungkanlah !


Makassar, 4 April 2013


NSNS

Rabu, 03 April 2013

Bakti Bagi Bangsa

Apa yang terpikir saat 2 Mei kembali hampir mengujungi kita? Ini adalah hari yg semestinya milik siapa saja, tidak harus yang berkecimpung di dunia sekolahan atau dunia pendidikan.

Lalu bagaimana dunia pendidikan kita saat ini?

Kalau mau jujur, kebanyakan orang memandang dunia pendidikan dengan nada sinis. Mulai dari pro kontra kurikulum hingga gedung yg tak layak pakai. Dari "kerjasama" penyunatan bantuan rehab sampai gaji yg kecil. Dari sertifikasi hingga ujian nasional yg penuh protes.

Begitulah wajah dunia pendidikan kita hari ini. Kelihatan penuh lubang disana-sini. Tapi haruskah kita menyerah? Sekarang, melihat dunia pendidikan seperti di atas, adakah kita peduli? Tidak terusikkah rasa cinta kita kepada bangsa ini? Apa wujud bakti yang bisa kita berikan bagi bangsa ini?

Teman, berbuat dan melakukan tindakan nyata, barangkali akan sangat bermanfaat ketimbang caci maki atau menangisi. Sudah saatnya kita turun tangan berbakti bagi bangsa demi menuntaskan janji kemerdekaan di dunia pendidikan "Turut Serta Mencerdaskan Kehidupan Bangsa"


Makassar, 3 April 2013
-NSNS-

Selasa, 02 April 2013

(Lanjut) Sekolah S2

Kerinduan gw akan bangku kuliah dan dunia akademis memang tak pernah padam. Hal ini yang menjadi pemicu pembicaraan random menyoal tingkat pendidikan di bangku perguruan tinggi, di kantor hari ini.  Seorang kepala bagian di kantor memberikan komentar, katanya Jaman dulu, tahun 60an, pendidikan tertinggi biasanya hanya sampai sarjana. Tapi hari ini ada program sarjana, magister, dan doktor.  

Kegairahan mahasiswa sekarang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat membanggakan. Sekarang ini lulus S1 saja dianggap belum cukup, masih “nanggung” gitu, maka ketika ada peluang mengikuti progarm S2 di dalam atau luar negeri, kenapa nggak dicoba? Mumpung masih muda, belum banyak tanggung jawab (punya suami, istri atau anak), gairah belajar masih semangat 45, maka mengambil program S2 adalah pilihan alumni saat ini selain bekerja. Apalagi lembaga pemberi beasiswa cukup banyak jumlahnya. Di Indonesia saja ada lembaga Pemerintah seperti Dikti (Direktorat Perguruan Tinggi) dan Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika) gencar menawarkan puluhan hingga ratusan beasiswa untuk mengambil S2 dan S3 di dalam maupun di luar negeri Lembaga swasta seperti Sampurna Foundation juga menawarkan puluhan beasiswa S2 bagi lulusan S1. Masih banyak lagi lembaga swasta yang memberikan beasiswa pasca sarjana, sayang gw tidak hafal nama-namanya. Ada yang tahu? Kualifikasi S2 sudah menjadi kebutuhan saat ini. Menjadi dosen di PTN saja misalnya harus yang mempunyai kualifikasi S2 (kecuali beberapa PTN di Jawa yang mensyaratkan dosen baru dengan kualifikasi S3). Banyak instansi (setahu gw instansi Pemerintah) yang mendorong pegawainya untuk mengambil S2 (umumnya S2 di dalam negeri). Program S2 di dalam negeri dengan kualitas dari A sampai Z ada di mana-mana. Tidak hanya di koat-kota besar, PTS di kota kecil atau kabupaten pun banyak yang menawarkan program S2.

Yang menarik adalah tidak semua lulusan S1 itu mengambil S2 sesuai dengan program studinya ketika S1. Alumni almamater gw contohnya, waktu S1 Mengambil jurusan AKK begitu mendaftar S2 banyak juga yang “lari” ke jurusan MARS atau Biostat. Gw pikir tidak apa-apa juga, mungkin dia punya talenta di bidang baru itu, atau tertarik ingin mendalaminya, atau ingin memperkuat basis keilmuannya. 
Meskipun di Indonesia lulusan S2 sudah banyak jumlahnya, tetapi penghargaan perusahaan kepada para master ini masih dirasa kurang. Jika mereka melamar pekerjaan di perusahaan, kualifikasi S2 mereka tidak terlalu diperhatikan, mereka diperlakukan sama seperti lulusan S1, terutama standard gaji. Nggak salah juga sih sebab yang namanya perusahaan dalam spesifikasi lowongan kerjanya memang tidak membutuhkan level pendidikan yang tinggi-tinggi. Jadi, untuk kondisi di Indonesia saat ini mengambil kuliah S2 bagi sarjana S1 yang baru lulus memang bukan untuk kebutuhan melamar pekerjaan (kecuali untuk menjadi dosen) atau untuk jenjang karir (kecuali bagi yang udah bekerja di instansi Pemerintah), tetapi lebih pada pengembangan diri si mahasiswa itu sendiri. Ada pendapat?
Makassar, 2 April 2013
NSNS

Ada Cinta di Lampu Merah


Hari ini, tidak seperti biasanya, gw harus mencari jalan alternatif terdekat untuk sampai ke rumah, mengingat gw sedang tidak menggunakan jasa angkot. Yah hari ini adalah hari pertama program bike to work gw. 

Di perempatan jalan Ratulangi yang gw lalui, seorang pengemis, lelaki tua duduk bersama seorang bocah perempuan di pembatas jalan. Si bapak berkulit gelap dan cacat, dihiasi kerutan tua bercanda dengan bocah perempuan yang tertawa riang. Hari ini adalah hari yang biasa bagi mereka. Duduk di pembatas jalan, menunggu sisa kasihan dari orang yang lalu lalang. Si bocah mencium kedua pipi dan kening si bapak kemudian tertawa. Si bapak tersipu lalu menatap kosong ke depan. Mungkin lelah menunggu sesuatu untuk dibawa pulang hari itu. Dua orang yang (mungkin) sudah dianggap tidak ada. Si bocah lalu mengganggu si bapak kembali. Diambilnya sekeping uang logam, diletakkan di atas kepala si bapak. Beberapa kali dilakukan si bocah sampai saatnya si bapak menyerah, ikut tertawa bersama si bocah lalu menciumnya sayang.

Mobil besar buatan Jepang membatasi gw dan mereka. Bercanda riang tak peduli sepasang mata memandang sedari awal.

Sial! Sekeliling tiba-tiba menyalak, klakson berbunyi keras saling sahut menyahut. Lampu kurang ajar itu masih merah, tinggal beberapa detik lagi namun semua orang nampak tak sabar. 1 menit sekian detik adalah waktu yang terlalu lama bagi kebanyakan orang. Bagi gw, waktu tersebut gw belajar sesuatu di lampu merah ibukota.


Makassar,1 April 2013

NSNS