Selasa, 26 Maret 2013

Asa Seorang Anak (Rofiq)



Akhir-akhir ini gw sering melakukan perjalanan ke luar kota, bertemu dengan masyarakat di daerah terpencil dan tentunya sebisa mungkin berinteraksi dengan anak-anak kecil di sekitaran tempat gw mangkal untuk sementara waktu. 

Sudah dua malam itu gw ke rumah salah satu warga yang jadi tempat belajar dan mengaji anak-anak kecil sekitaran daerah tersebut. Anak-anak ini sudah mulai akrab sama gw, bahkan mereka menyebut gw dengan sebutan Bu Guru. Sebutan yang menurut gw sangat WAHHHH. Dua malam berinteraksi, gw menangkap bahwa mereka adalah anak-anak yang aktif dan selalu ingin tahu, ada banyak pertanyaan yang selalu mereka lontarkan ketika bertemu dengan gw. Kurangnya akses mendapatkan informasi membuat animo mereka saat bertemu dengan "sumber informasi baru" terasa seperti letusan gunung merapi yang mengaliri banyak lahar mengisi dataran tandus pengetahuan mereka.

Diskusi malam itu gw mulai dengan pertanyaan iseng ke anak-anak yang gw taksir rata-rata masih kelas 3 – 6 SD, “Apa cita-cita kalian jika sudah besar nanti?”. Beberapa dari mereka menjawab ingin menjadi pekerja tambang minyak, yang lainnya ada yang ingin menjadi guru. Alasannya simpel itulah profesi yang sering mereka lihat. Tak satupun yang ingin jadi presiden, menteri, atau profesi lain yang menurut gw agak sedikit canggih. Tapi diantara puluhan anak malam itu, ada satu anak yang menarik perhatian gw.

Rofiq Ulupati. Bocah laki-laki ini memang paling kalem diantara mereka. Entah kenapa dari awal gw merasa nyambung berbicara dengannya, pemikirannya dewasa, realitis, padahal umurnya baru saja menginjak 12 tahun. Dia adalah murid kelas 4 SD. Menurut gw sangat tidak wajar usia 12 Tahun tapi masih kelas 4 SD. Iseng gw pun nanya “Ose kenapa baru kelas 4 SD?”. “Beta seng pernah tinggal kelas bu guru, hanya saja beta sempat putus sekolah” ujarnya menangkap kecurigaan gw. “Ose pung cita-cita kah? Seng? Apa?”, tanya gw dan disambut dengan jawaban “Beta seng tau eh bu guru mau jadi apa, karena setinggi apapun cita-cita beta, yang beta tau beta harus kasih bahagia beta pung orangtua. Itu saja.”

Kalimat yang gw dengar saat itu entah kenapa menjadi sangat berbekas hingga saat ini tidak hanya dalam pikiran tapi dalam hati gw. Seorang bocah lelaki dengan wajah polosnya dengan alunan nada suara yang tanpa beban telah mengajarkan gw satu hal. Benar bahwa setinggi dan sehebat apapun cita-cita yang seorang anak miliki tujuan akhirnya adalah membahagiakan orangtua. 



Ternate, 28 Februari 2013

Regards,
NSNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar